Selasa, 07 April 2015

bahagia itu sih sederhana, katanya.........

gwe heran, apa sih sebenarnya bahagia itu....

cukup sederhana bukan, pertanyaan tadi, tapi ketika gwe tanya ke semua orang. satu persatu pada ngasih opini berbeda, seperti......

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana semangkuk mi ayam favorit dengan isi yang banyak, hangat dan gurih, saat hujan. Apalagi kalau ditraktir.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana melihat senyummu, mendengar tawamu, hanyut dalam keteduhan tatap matamu.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana tempat tidur dengan seprai dan sarung bantal guling yang baru. Masih mulus, adem, lagi wangi. Apalagi kalau ada konconya.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana pelukan. Ada yang demen meluk dari belakang, mendarat di punggung.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana berhasil meniru resep masakan, membuat menu baru sendiri dengan rasa yang lumayan.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana berhasil dapat nilai A dalam ujian. Lulus UN. Tanpa nyontek. Berhasil menjadi sarjana, atau meraih Master, Doktor, dan sejenisnya.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana mendapat pujian dari bos di kantor setelah berhasil menang pitching; dianggap punya ide brilian; dinilai berkepribadian baik; maupun bisa diandalkan.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana berhasil mengalami dan memberikan orgasme kepada pasangan.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana berhasil membeli tanah, rumah, atau kendaraan idaman dengan kemampuan sendiri. Konstan menabung setiap bulan selama beberapa tahun untuk mengumpulkan uang muka, lalu siap nyicil sisanya.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana menemukan toilet yang sangat bersih dan nyaman saat kebelet-kebeletnya.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana berhasil mendapatkan beasiswa ke luar negeri, mengalahkan ribuan kandidat lainnya.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana bisa mewujudkan impian orangtua. Menikah, memberikan cucu, memberangkatkan haji, mengajak mereka jalan-jalan ke luar negeri, memberikan kehidupan yang berkecukupan, membuat mereka selalu tertawa gembira.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana bertemu dengan orang yang bisa berbicara “bungul ikam tu!” atau “nggolek badokan yok, wis luwe arep semaput iki” setelah sepuluh tahun tinggal di Eropa.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana menemukan paman penjual Putu Labu yang dermawan memberi isi gula merah, dan menyajikan kelapa parut yang segar.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana bisa peluk cium dengan pasangan di mana saja dan kapan saja, tanpa harus takut-takut. Bukan peluk cium pamer atau syahwat yang tak terbendung, melainkan peluk cium sebagai ekspresi rasa sayang yang tak berkesudahan.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana menonton konser band favorit di luar negeri tepat saat isi tabungan mencukupi.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana segelas air putih dingin saat sedang haus-hausnya.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana sukses menghasilkan karya beraneka media. Bisa jadi buku, gubahan musik, lukisan, komik dan karya animasi, film, instalasi seni, desain busana, tata interior, rancangan arsitektur. Karya yang dihasilkan lewat idealisme dan bebas intervensi.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana bisa sahur dan berbuka puasa dengan orang-orang tercinta. Apapun menunya.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana masuk ke sebuah restoran ternama dengan predikat Michelin, memesan menu lengkap untuk lima jenis masakan ala fancy dining.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana bertemu pacar/suami/istri setelah terpisah sekian lama.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana mendengar anak kita yang masih bayi, tertawa untuk pertama kalinya. Atau saat ia mengucapkan kata utuh pertamanya: “ma-ma”.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana ketemu barang incaran yang sedang didiskon 70 persen.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana berasa jadi salah satu orang paling hipster. Selalu tahu dan mengalami hal baru lebih dahulu. Sudah mengenakan potongan busana jauh sebelum menjadi tren, sudah menjadi langganan kafe atau tempat nongkrong baru sebelum populer, sudah nonton film keluaran terbaru sejak penayangan perdana, sudah menggengam gadget keluaran termutakhir ketika harganya masih didongkrak habis-habisan.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana diterima setelah nembak.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana berhasil menyelenggarakan event yang “berbudaya”, dan mendapat respons luar biasa. Menuntaskan ide dan cita-cita. Menjadi buah bibir setelahnya.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana memberi nasi bungkus kepada pengemis renta yang ditemui di pinggir jalan.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana membantu orang lain mewujudkan ide dan gagasannya. Menghasilkan sesuatu yang positif, signifikan, dan bermanfaat bagi sesama.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana kentut tanpa malu-malu, dan tanpa malu-maluin.

Bahagia itu sederhana, katanya. Sesederhana… (silakan isi sendiri)



Setiap orang punya kebahagiaan versi masing-masing. Kita pun bisa duduk seharian, ngobrolin daftar ini tanpa ada habis-habisnya, lalu ketawa-ketiwi atau merasa senang karenanya. Meskipun begitu, waktu tetap berjalan, kehidupan terus bergulir. Kebahagiaan yang kita rasakan, menerakan pengalaman menyenangkan, segudang kenangan.

Begitupun tulisan ini, akan menyisakan bayangan-bayangan penuh kegembiraan, bila diakhiri di paragraf ini.

Berpisah dengan yang dicintai.

Berkumpul dengan yang dibenci.

Mendapat yang tidak diinginkan.

Luput dari yang diharapkan.



Waktu tetap berjalan, kehidupan terus bergulir. Perubahan tak dapat dihindari. Mereka yang optimistis, selalu yakin bahwa setelah satu kebahagiaan berlalu, akan ada kebahagiaan lain yang menyusul. Sedangkan mereka yang pesimistis, selalu murung karena menganggap bahwa hanya ada kesedihan tak berkesudahan. Sementara mereka yang realistis, siap menggapai kebahagiaan dan sanggup diterpa kesedihan.

Maafkan saya, jika harus menggugah Anda dari daydreaming yang menyenangkan. Hanya saja kita–manusia–tidak hanya tercipta untuk siap bahagia saja, namun beredar dalam kehidupan yang serba lengkap. Kendatipun lumrahnya, semua orang mengidamkan kebahagiaan, dan sebisa mungkin menghindari kesedihan.

Dari sederetan contoh “Bahagia itu Sederhana” sebelumnya, kita dihadapkan pada happy ending–akhir yang menyenangkan, ketika mampu menyisakan senyum terkembang. Jangan lupa kalimat saktinya: “waktu tetap berjalan, kehidupan terus bergulir.” Ada peristiwa, setelah sebuah peristiwa. Tergantung kita, sudah siap menghadapinya, atau masih belum move on dari sisa-sisa efek kejadian sebelumnya.


Berpisah dengan yang dicintai
Perpisahan mengikuti pertemuan layaknya bayangan. Tak perlu jauh-jauh berbicara tentang maut yang memisahkan sepasang kekasih, ketika sehabis kencan mingguan saja, dua sejoli terus bermesra-mesraan lewat udara. Plus kalimat andalan: “kangen banget nih…”

Berkumpul dengan yang dibenci
Wajar kiranya, apabila manusia selalu gandrung dengan hal-hal menyenangkan, dan anti terhadap semua yang bertolak belakang. Di kantor misalnya, akan terasa layaknya ruang penyiksaan ketika kita harus berurusan dengan musuh bebuyutan. Ingin cepat-cepat pulang kantor saja rasanya, nongkrong dengan teman-teman, walaupun pada kenyataannya harus kembali turun kerja keesokan harinya. Siklus.

Mendapat yang tidak diinginkan
Ekspektasi adalah muara dari semua yang kita kerjakan. Selalu ada harapan, target, capaian minimal dari daya upaya yang kita kerahkan. Maunya sih selalu berhasil dan berbuah kegembiraan, namun tak mustahil menuai kekecewaan. Hanya ada “ucapan terima kasih atas partisipasinya.”

Luput dari yang diharapkan
Lebih parah dari poin sebelumnya, luput berarti tidak mendapatkan apa-apa sama sekali. Boro-boro sesuatu yang diinginkan, ini malah tangan yang hampa. Benar-benar kehilangan. Bagaimanapun bentuknya, saya yakin Anda pasti pernah mencelus di dalam hati, ketika merasakan yang seperti ini.


Kebahagiaan dan kesedihan, berikut perolehan dan kehilangan. Sepasang realitas yang tidak terelakan. Kondisi yang tidak akan dapat kita hindari, selama masih berkutat dalam “keterkondisian” serta ketidakpastian. Malangnya, seumur hidup ini, kita dibiasakan untuk selalu rapat melekat dengan hal-hal yang membahagiakan, dan berlari sejauh mungkin dari hal-hal yang menyedihkan. Menjadi ilusi, bahwa kebahagiaan itu seperti permen bulat isi cokelat. Berlimpah jumlahnya dan menyenangkan. Menyisakan kesedihan yang dianggap laiknya bulatan-bulatan hitam dengan rasa pahit memuakkan.

Gandrung pada permen bulat isi cokelat. Kita lumat dengan mantap, untuk kemudian kita pegang sisanya erat-erat. Bahagia memang, pada awalnya. Hingga kemudian muncul kekhawatiran; “sisa berapa ya?”, “kalau nanti diambil sama dia, gimana ya?”, “cari di mana lagi ya?”. Kebahagiaan berangsur hilang.

Di pojok-pojok laci yang tak tersentuh, bulatan-bulatan hitam dengan rasa pahit didiamkan. Dijauhkan dari jangkauan anak-anak; mereka yang gandrung pada permen bulat isi cokelat. Hingga suatu saat, sang bocah menceret, diare, salah makan. Anda pun tahu bagaimana kelanjutannya. Setelah sang bocah pulih dari diarenya, baru terdengar celetukan: “syukur masih nyimpan.”

Situasi terbalik. Permen bulat isi cokelat tak lagi menyenangkan. Bulatan hitam yang rasanya pahit, tak lagi menakutkan.



Ketidakpastian membuat hidup kita penuh misteri. Apa yang akan terjadi semenit ke depan pun masih merupakan tanda tanya besar. Lantaran itu, kebahagiaan tak melulu berbuntut bahagia; kesedihan pun tak melulu berujung petaka. Larut dalam kebahagiaan, membuat kita terlena dari kenyataan. Sadar dalam kesedihan, membuat kita waskita akan kehidupan. Saya terdengar sok bijaksana? Memang. Sengaja.

Ya, bahagia itu memang sederhana. Sesederhana mampu bersyukur. Terhadap apa saja, itu pun kalau Anda bisa dan bersedia.

Dan sebagai manusia, bahagia itu memang sederhana. Sesederhana mampu merasakan berjuta pengalaman, kebahagiaan dan kesedihan, perolehan dan kehilangan, segalanya.


Yeah, I'm Grateful and Happy For No Reason.. I think this is The Greatest Happiness